Azmi : “Pak, aku sering dengar, banyak orang yang bilang, ‘Kata adalah doa’. Itu ada dalilnya nggak sih, Pak?”
Bapak : “Ada, tapi mereka pakai dalil secara umum. Ada hadits Qudsi: Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku.”
Azmi : “Oh, hadits itu. Iya, aku tahu. Kalau begitu, ada hal yang ingin aku sampaikan. Sebuah mimpi, bukan mimpi waktu tidur, tapi impian. Sebuah mimpi dan aku harap jika aku katakan ini termasuk adalah doa. Sebuah mimpi yang terinspirasi dari kisah masa lalu bapak dan kisah perjuangan Azzam di film KCB.”
Bapak : “Apa itu?”
Sang anak mengambil napas panjang. Pandangannya menatap ke langit-langit kamar. Tidak lama kemudian ia mulai menceritakan mimpinya.
Suatu malam, seperti biasa aku i’tikaf di masjid Daarut Tauhid (DT), Bandung. Aku mengambil tempat tepat di sebelah lelaki tua yang aku taksir usianya di atas 50 tahun. Tidak lama kemudian timbullah percakapan di antara kami berdua.
Lelaki tua : “Assalammu’alaikum.”
Azmi : “Wa’alaikumsalam.”
Lelaki tua : “Biasa i’tikaf disini, Dek?”
Azmi : “Kadang-kadang saja sih, Pak. Bapak sering i’tikaf disini?”
Lelaki tua : "Belum lama. Adek dari mana?”
Azmi : “Saya asal Jawa Timur, Pak. Dari Mojokerto. Disini saya tinggal di gang Gegersuni, dekat sini. Bapak sendiri asal mana?”
Lelaki tua: “Bapak dari Cimahi. Adek kuliah atau kerja?”
Azmi : “Saya wiraswasta saja sih, Pak.”
Lelaki tua : “Oh ya, usaha apa?”
Azmi : “Untuk saat ini baru jualan jilbab via FB, buka privat bisnis online, dan sama tim mau buka angkringan saja, Pak.”
Lelaki tua : “Oh, banyak ya.”
Azmi : “Lumayan sih, Pak. Tapi itu semua baru merintis. Ya belum sampai berpenghasilan besar.”
Lelaki tua : “Iya, nggak apa-apa. Namanya bisnis ya gitu, Dek. Butuh perjuangan.”
Azmi : “Iya, Pak. Bener.”
Dari percakapan itu, mulailah melebar sampai ke hal yang bersifat pribadi. Dalam percakapan itu aku juga menceritakan tentang statusku saat ini lengkap dengan penyebabnya, hingga keputusanku tentang hijrah ke Bandung. Di akhir percakapan, lelaki tua itu mengundangku untuk silaturrahim ke rumahnya. Aku pun menyanggupi undangan tersebut dan menetapkan waktu kunjungannya.
Hari silaturrahim itu pun tiba. Seperti biasa, aku selalu membawa laptop dan charger di dalam ranselku, meski aku belum tahu apakah laptop itu akan terpakai atau tidak. Setelah beberapa lama naik angkot, setelah beberapa lama berjalan mencari alamat rumahnya, aku pun tiba di sebuah rumah yang cukup sederhana.
Setelah duduk, lelaki tua itu mengajakku berbincang. Lalu beliau memanggil istrinya dan mengenalkannya padaku. Kemudian beliau memanggil nama salah satu putrinya untuk memberikan jamuan padaku.
Hanya dalam hitungan detik, muncul seorang gadis dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat 3 cangkir sirup dan beberapa toples camilan. Sebagai pengusaha hijab, aku tahu bahwa ia mengenakan kerudung hitam berukuran 130x130 cm, kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Sekilas pandangan kami saling bertemu, hanya sedetik saja. Kami berdua sama-sama menunduk dan tersipu. Ibunya tersenyum mengetahui kekikukan kami berdua. Jantungku pun bergemuruh dibuatnya. Setelah meletakkan jamuan di atas meja tamu, ia kembali ke ruang tengah.
Lelaki tua : “Namanya Aisyah. Dia anak kami yang kedelapan.”
Azmi : “Oh gitu. Bapak punya berapa anak?”
Lelaki tua: “Alhamdulillah sepuluh, Dek.”
Azmi : "Oh gitu. Kuliah atau kerja, Pak?”
Lelaki tua : “Kuliah di kampus UPI, Nak Azmi. Lagi semester 5 di jurusan sastra Indonesia.”
Azmi : “Oh gitu. Dia mau jadi penulis ya, Pak?”
Lelaki tua : “Begitulah. Sejak kecil dia ingin jadi penulis novel.”
Azmi : “Oh gitu. Bagus itu, Pak. Suaminya nanti tentu beruntung. Karena dia bisa membantu suaminya mencari nafkah tanpa harus kerja di luar rumah.”
Lelaki tua : “Nah, itu dia, Nak Azmi. Itu yang mau bapak bicarakan sama Nak Azmi.”
Azmi : “Oh, ada apa, Pak?”
Lelaki tua itu terdiam sejenak, seakan-akan tengah menyiapkan sesuatu. Tidak lama kemudian beliau pun berkata...
“Begini, Nak Azmi. Sudah lama Aisyah ada niat untuk menikah, tapi dia belum punya calon. Dua adiknya juga ingin menikah, masing-masing sudah punya calon, tapi mereka enggan untuk mendahului kakaknya.
“Sejak kuliah di UPI, Aisyah sering i’tikaf juga di masjid DT. Dan belakangan ini, dia sering memperhatikan Nak Azmi dari lantai tiga. Hal itu dia ceritakan ke bapak. Makanya tempo hari bapak ikut i’tikaf disana. Ternyata benar, Nak Azmi itu gampang dikenali. Jaket yang Nak Azmi pakai sewaktu i’tikaf selalu sama, selalu membawa ransel hitam, laptop dan HP pun hitam. Dari dia juga bapak tahu kalau Nak Azmi sering membaca buku pranikah dan menulis artikel di blog.
“Setelah bertemu dengan Nak Azmi tempo hari, bapak sudah cerita banyak ke Aisyah tentang Nak Azmi. Bapak sendiri sih nggak ambil pusing dalam menentukan jodoh buat dia. Yang penting bertanggung jawab dan bisa membimbing dia agar bisa selamat dunia-akhirat. Gimana sama Nak Azmi?”
Sesaat aku terdiam. Aku tidak menyangka jika ternyata selama ini ada wanita yang memperhatikanku tanpa aku sadari. Lebih tidak menyangka lagi jika ternyata undangan silaturrahim itu dalam rangka menjodohkan putrinya denganku. Setelah mengambil napas panjang, aku pun berkata...
“Pak Ibrahim.. Jujur, bagi saya ini adalah berita gembira yang tak disangka-sangka. Selama ini juga saya sering menatap ke lantai tiga di masjid dan bertanya-tanya, apakah jodoh impian saya ada disana?
“Tapi sebelumnya saya mohon maaf. Bukannya saya tidak menghormati atau tidak menghargai tawaran dari bapak. Sebaliknya, jujur saya senang mendengarnya. Hanya saja, dengan pengalaman pahit di masa lalu, kini saya benar-benar selektif dalam memilih calon pasangan. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya.”
“Memang kriteria istri bagi Nak Azmi seperti apa?” Sahut bapak tersebut.
“Cukup banyak sih, Pak Ibrahim. Lengkapnya sudah saya sebutkan di proposal. Boleh saya menunjukkannya, Pak? Kebetulan ada di laptop saya.”
“Oh, boleh, boleh.”
Setelah mengambil laptop dari ransel dan membukanya, aku menancapkan flashdisk ke salah lubang USB. Menyalin file proposal nikahku dari laptop ke flashdisk. Kemudian aku menyerahkan flashdisku itu ke bapak tersebut dan berkata, “Ini, Pak Ibrahim. Isinya cukup panjang. Bapak bisa membacanya sekarang atau nanti.”
“Oh iya. Nanti bapak baca.” Jawab bapak tersebut.
“Selain itu, Pak Ibrahim...” Sahutku, “Untuk modal resepsi, saya belum ada. Penghasilan saya juga masih labil. Saya khawatir tidak bisa membahagiakan putri bapak dengan keterbatasan saya ini.”
“Memang untuk bahagia itu harus kaya dulu ya, Nak Azmi?” Sahut bapak tersebut.
Lagi-lagi aku terdiam. Aku benar-benar tidak tahu, jawaban apa yang harus aku berikan. Belum sempat aku menjawab, bapak itu kembali membuka suara....
“Nak Azmi... Kebahagiaan itu datang dari hati yang tenang, bukan dari banyaknya uang. Hati akan tenang jika kita selalu bersabar dan bersyukur. Bersabar ketika ditimpa kesulitan, dan bersyukur ketika diberi kemudahan. Sabar dan syukur, itulah kunci untuk hidup bahagia. Begitu kata Aa Gym tempo hari.”
“Iya, Pak Ibrahim. Saya juga ikut pengajian itu sewaktu Aa Gym mengajarkan hal tersebut.” Sahutku.
“Nah, tuh Nak Azmi juga tahu.”
“Jujur, Pak, saya benar-benar senang mendengar itu semua. Tapi, jika bapak menghendaki resepsi besar dengan biaya belasan atau sampai puluhan juta, mohon maaf, untuk saat ini saya belum ada dana sebesar itu, Pak.”
“Nggak apa-apa, Nak Azmi. Nanti bisa kita atur sesederhana mungkin sesuai budget yang ada. Nggak masalah jika tidak mewah, yang penting berkah.”
“Terimakasih, Pak Ibrahim. Jujur, saya benar-benar senang mendengarnya. Tapi mohon maaf, untuk menghindari penyesalan di kemudian hari, ada baiknya bapak, ibu, dan Teh Aisyah membaca proposal saya tadi. Dan jika berkenan, saya harap Teh Aisyah juga membuat proposal untuk saya baca. Saya ingin mengenal Teh Aisyah terlebih dahulu dengan membaca proposal darinya tersebut. Baru setelah itu kita bisa membicarakan kelanjutannya.”
“Baiklah kalau begitu, Nak Azmi. Nanti bapak baca proposal Nak Azmi, dan nanti bapak minta Nak Aisyah untuk membuat proposal juga.”
Azmi : “Sudah, itu saja mimpiku saat ini, Pak.” (Sambil menyeka air matanya) “Gimana menurut bapak?”
Bapak : “Boleh-boleh saja untuk bermimpi. Tapi ingat, Mas, kita nggak boleh mendikte Allah.”
Azmi : “Iya sih, Pak. Lagi pula itu hanya mimpi.”
Bapak : “Ada, tapi mereka pakai dalil secara umum. Ada hadits Qudsi: Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku.”
Azmi : “Oh, hadits itu. Iya, aku tahu. Kalau begitu, ada hal yang ingin aku sampaikan. Sebuah mimpi, bukan mimpi waktu tidur, tapi impian. Sebuah mimpi dan aku harap jika aku katakan ini termasuk adalah doa. Sebuah mimpi yang terinspirasi dari kisah masa lalu bapak dan kisah perjuangan Azzam di film KCB.”
Bapak : “Apa itu?”
Sang anak mengambil napas panjang. Pandangannya menatap ke langit-langit kamar. Tidak lama kemudian ia mulai menceritakan mimpinya.
***
Suatu malam, seperti biasa aku i’tikaf di masjid Daarut Tauhid (DT), Bandung. Aku mengambil tempat tepat di sebelah lelaki tua yang aku taksir usianya di atas 50 tahun. Tidak lama kemudian timbullah percakapan di antara kami berdua.
Lelaki tua : “Assalammu’alaikum.”
Azmi : “Wa’alaikumsalam.”
Lelaki tua : “Biasa i’tikaf disini, Dek?”
Azmi : “Kadang-kadang saja sih, Pak. Bapak sering i’tikaf disini?”
Lelaki tua : "Belum lama. Adek dari mana?”
Azmi : “Saya asal Jawa Timur, Pak. Dari Mojokerto. Disini saya tinggal di gang Gegersuni, dekat sini. Bapak sendiri asal mana?”
Lelaki tua: “Bapak dari Cimahi. Adek kuliah atau kerja?”
Azmi : “Saya wiraswasta saja sih, Pak.”
Lelaki tua : “Oh ya, usaha apa?”
Azmi : “Untuk saat ini baru jualan jilbab via FB, buka privat bisnis online, dan sama tim mau buka angkringan saja, Pak.”
Lelaki tua : “Oh, banyak ya.”
Azmi : “Lumayan sih, Pak. Tapi itu semua baru merintis. Ya belum sampai berpenghasilan besar.”
Lelaki tua : “Iya, nggak apa-apa. Namanya bisnis ya gitu, Dek. Butuh perjuangan.”
Azmi : “Iya, Pak. Bener.”
Dari percakapan itu, mulailah melebar sampai ke hal yang bersifat pribadi. Dalam percakapan itu aku juga menceritakan tentang statusku saat ini lengkap dengan penyebabnya, hingga keputusanku tentang hijrah ke Bandung. Di akhir percakapan, lelaki tua itu mengundangku untuk silaturrahim ke rumahnya. Aku pun menyanggupi undangan tersebut dan menetapkan waktu kunjungannya.
Hari silaturrahim itu pun tiba. Seperti biasa, aku selalu membawa laptop dan charger di dalam ranselku, meski aku belum tahu apakah laptop itu akan terpakai atau tidak. Setelah beberapa lama naik angkot, setelah beberapa lama berjalan mencari alamat rumahnya, aku pun tiba di sebuah rumah yang cukup sederhana.
Setelah duduk, lelaki tua itu mengajakku berbincang. Lalu beliau memanggil istrinya dan mengenalkannya padaku. Kemudian beliau memanggil nama salah satu putrinya untuk memberikan jamuan padaku.
Hanya dalam hitungan detik, muncul seorang gadis dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat 3 cangkir sirup dan beberapa toples camilan. Sebagai pengusaha hijab, aku tahu bahwa ia mengenakan kerudung hitam berukuran 130x130 cm, kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Sekilas pandangan kami saling bertemu, hanya sedetik saja. Kami berdua sama-sama menunduk dan tersipu. Ibunya tersenyum mengetahui kekikukan kami berdua. Jantungku pun bergemuruh dibuatnya. Setelah meletakkan jamuan di atas meja tamu, ia kembali ke ruang tengah.
Lelaki tua : “Namanya Aisyah. Dia anak kami yang kedelapan.”
Azmi : “Oh gitu. Bapak punya berapa anak?”
Lelaki tua: “Alhamdulillah sepuluh, Dek.”
Azmi : "Oh gitu. Kuliah atau kerja, Pak?”
Lelaki tua : “Kuliah di kampus UPI, Nak Azmi. Lagi semester 5 di jurusan sastra Indonesia.”
Azmi : “Oh gitu. Dia mau jadi penulis ya, Pak?”
Lelaki tua : “Begitulah. Sejak kecil dia ingin jadi penulis novel.”
Azmi : “Oh gitu. Bagus itu, Pak. Suaminya nanti tentu beruntung. Karena dia bisa membantu suaminya mencari nafkah tanpa harus kerja di luar rumah.”
Lelaki tua : “Nah, itu dia, Nak Azmi. Itu yang mau bapak bicarakan sama Nak Azmi.”
Azmi : “Oh, ada apa, Pak?”
Lelaki tua itu terdiam sejenak, seakan-akan tengah menyiapkan sesuatu. Tidak lama kemudian beliau pun berkata...
“Begini, Nak Azmi. Sudah lama Aisyah ada niat untuk menikah, tapi dia belum punya calon. Dua adiknya juga ingin menikah, masing-masing sudah punya calon, tapi mereka enggan untuk mendahului kakaknya.
“Sejak kuliah di UPI, Aisyah sering i’tikaf juga di masjid DT. Dan belakangan ini, dia sering memperhatikan Nak Azmi dari lantai tiga. Hal itu dia ceritakan ke bapak. Makanya tempo hari bapak ikut i’tikaf disana. Ternyata benar, Nak Azmi itu gampang dikenali. Jaket yang Nak Azmi pakai sewaktu i’tikaf selalu sama, selalu membawa ransel hitam, laptop dan HP pun hitam. Dari dia juga bapak tahu kalau Nak Azmi sering membaca buku pranikah dan menulis artikel di blog.
“Setelah bertemu dengan Nak Azmi tempo hari, bapak sudah cerita banyak ke Aisyah tentang Nak Azmi. Bapak sendiri sih nggak ambil pusing dalam menentukan jodoh buat dia. Yang penting bertanggung jawab dan bisa membimbing dia agar bisa selamat dunia-akhirat. Gimana sama Nak Azmi?”
Sesaat aku terdiam. Aku tidak menyangka jika ternyata selama ini ada wanita yang memperhatikanku tanpa aku sadari. Lebih tidak menyangka lagi jika ternyata undangan silaturrahim itu dalam rangka menjodohkan putrinya denganku. Setelah mengambil napas panjang, aku pun berkata...
“Pak Ibrahim.. Jujur, bagi saya ini adalah berita gembira yang tak disangka-sangka. Selama ini juga saya sering menatap ke lantai tiga di masjid dan bertanya-tanya, apakah jodoh impian saya ada disana?
“Tapi sebelumnya saya mohon maaf. Bukannya saya tidak menghormati atau tidak menghargai tawaran dari bapak. Sebaliknya, jujur saya senang mendengarnya. Hanya saja, dengan pengalaman pahit di masa lalu, kini saya benar-benar selektif dalam memilih calon pasangan. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya.”
“Memang kriteria istri bagi Nak Azmi seperti apa?” Sahut bapak tersebut.
“Cukup banyak sih, Pak Ibrahim. Lengkapnya sudah saya sebutkan di proposal. Boleh saya menunjukkannya, Pak? Kebetulan ada di laptop saya.”
“Oh, boleh, boleh.”
Setelah mengambil laptop dari ransel dan membukanya, aku menancapkan flashdisk ke salah lubang USB. Menyalin file proposal nikahku dari laptop ke flashdisk. Kemudian aku menyerahkan flashdisku itu ke bapak tersebut dan berkata, “Ini, Pak Ibrahim. Isinya cukup panjang. Bapak bisa membacanya sekarang atau nanti.”
“Oh iya. Nanti bapak baca.” Jawab bapak tersebut.
“Selain itu, Pak Ibrahim...” Sahutku, “Untuk modal resepsi, saya belum ada. Penghasilan saya juga masih labil. Saya khawatir tidak bisa membahagiakan putri bapak dengan keterbatasan saya ini.”
“Memang untuk bahagia itu harus kaya dulu ya, Nak Azmi?” Sahut bapak tersebut.
Lagi-lagi aku terdiam. Aku benar-benar tidak tahu, jawaban apa yang harus aku berikan. Belum sempat aku menjawab, bapak itu kembali membuka suara....
“Nak Azmi... Kebahagiaan itu datang dari hati yang tenang, bukan dari banyaknya uang. Hati akan tenang jika kita selalu bersabar dan bersyukur. Bersabar ketika ditimpa kesulitan, dan bersyukur ketika diberi kemudahan. Sabar dan syukur, itulah kunci untuk hidup bahagia. Begitu kata Aa Gym tempo hari.”
“Iya, Pak Ibrahim. Saya juga ikut pengajian itu sewaktu Aa Gym mengajarkan hal tersebut.” Sahutku.
“Nah, tuh Nak Azmi juga tahu.”
“Jujur, Pak, saya benar-benar senang mendengar itu semua. Tapi, jika bapak menghendaki resepsi besar dengan biaya belasan atau sampai puluhan juta, mohon maaf, untuk saat ini saya belum ada dana sebesar itu, Pak.”
“Nggak apa-apa, Nak Azmi. Nanti bisa kita atur sesederhana mungkin sesuai budget yang ada. Nggak masalah jika tidak mewah, yang penting berkah.”
“Terimakasih, Pak Ibrahim. Jujur, saya benar-benar senang mendengarnya. Tapi mohon maaf, untuk menghindari penyesalan di kemudian hari, ada baiknya bapak, ibu, dan Teh Aisyah membaca proposal saya tadi. Dan jika berkenan, saya harap Teh Aisyah juga membuat proposal untuk saya baca. Saya ingin mengenal Teh Aisyah terlebih dahulu dengan membaca proposal darinya tersebut. Baru setelah itu kita bisa membicarakan kelanjutannya.”
“Baiklah kalau begitu, Nak Azmi. Nanti bapak baca proposal Nak Azmi, dan nanti bapak minta Nak Aisyah untuk membuat proposal juga.”
***
Azmi : “Sudah, itu saja mimpiku saat ini, Pak.” (Sambil menyeka air matanya) “Gimana menurut bapak?”
Bapak : “Boleh-boleh saja untuk bermimpi. Tapi ingat, Mas, kita nggak boleh mendikte Allah.”
Azmi : “Iya sih, Pak. Lagi pula itu hanya mimpi.”